China Berambisi Jadi Lumbung Pangan Terbesar di Dunia
BEIJING, KOMPAS.com - China saat ini merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Penduduk China saat ini mencapai 1,4
miliar orang. Tidak heran jika pemerintah China harus memastikan kebutuhan pangan warga negaranya tercukupi dengan baik.
Masalah kebutuhan
pangan ini mendorong pemerintah China gencar membeli atau menyewa lahan pertanian di negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika
Selatan.
Pemerintah China mengembangkan teknologi pertanian dan peternakan. China ingin menjadi lumbung pangan terbesar dunia yang
mampu memberi makan bagi 9 miliar orang.
Jika ditilik pada empat dekade lalu, reformasi industri telah mengubah wajah pertanian China.
Jika semula pertanian dimiliki keluarga dengan usaha seperti beras dan gandum. Kini, menjelma menjadi industri demi memenuhi kebutuhan
masyarakat yang lebih menginginkan makanan lebih mewah seperti daging sapi dan susu.
Inilah yang mendorong perusahaan China WH Group
mengakuisisi Smithfield Foods Inc, produsen daging babi terbesar di dunia seharga US$ 6,95 miliar pada tahun 2013. Lewat akuisisi
tersebut kebutuhan daging seperti sosis dan daging China tercukupi.
Konsumsi daging per kapita di China adalah 39,4 kilogram per tahun.
Sementara peternakan babi domestik tidak dapat memenuhi permintaan.
Di tengah tingginya permintaan produk makanan, lahan subur di China justru menyusut lantaran banyaknya pembangunan pabrik serta pencemaran akibat aktivitas pabrik. Negara ini menjadi buah bibir karena tingginya pencemaran, seperti beras mengandung merkuri, sayuran yang terkena paparan logam dan susu bubuk terinfeksi melamin.
Solusinya,
China membidik negara miskin yang belum banyak memanfaatkan lahan. Sebab rata-rata luas lahan pertanian yang digarap petani China
kurang dari 1 hektare. Seperti dilansir Bloomberg, China masuk Mozambik untuk memenuhi kebutuhan gandum. Tahun lalu cadangan gandum
China di atas 600 juta ton.
Selain itu, China menyewa dan membeli lahan di sejumlah negara yang dinilai memiliki pertanian berbasis
teknologi seperti di Amerika Serikat yakni di Missouri. Lalu, Brasil, Kamboja, dan Australia. Revolusi hijau juga merambah rumah tangga,
pemerintah menyerukan agar tanah pekarangan rumah dimanfaatkan untuk ditanam kebutuhan dapur.
Reformasi
China juga mereformasi sektor
pertaniannya dengan empat pendekatan yakni kontrol pasar, efisiensi pertanian, pembatasan lahan yang berpotensi merugikan dan impor.
Selain mengimbanginya dengan teknologi untuk menjaga kualitas produk.
Negara Tembok Besar menghabiskan miliaran dolar untuk investasi
di sistem pengairan, benih, penggunaan robot, pengembangan peternakan dan perbaikan atas kerusakan akibat polusi.
Penggunaan pesawat
tak berawak untuk menyemprotkan pupuk dan bahan kimia serta menangkal hama dan penyakit tanaman, lazim dipilih petani saat ini. Selain
juga penggunaan teknologi bergerak untuk penanganan kebutuhan air, pemberian dosis pestisida yang terpantau lewat komputer.
China pun
bermitra dengan banyak negara seperti Selandia Baru dan Australia untuk memproduksi keju, susu dan salmon asap. Lalu dengan perusahaan
Jepang memproduksi mie bebas minyak nabati. China disebut memiliki teknologi mi instan paling maju di dunia saat ini.
Jika pemerintah
China sudah sedemikian memikirkan urusan perut warganya, bagaimana dengan pemerintah Indonesia yang masih saja berkutat dengan kenaikan
harga bahan pokok menjelang Ramadhan?
(Mona Tobing)