Permainan kartel
Di dalam terminologi pembentukan harga pangan dikenal istilah spekulasi finansial. M Lagi
dan kawan-kawan (New England Complex System Institute, 2011) menyimpulkan bahwa spekulasi finansial merupakan penyebab utama krisis
pangan dunia tahun 2007/2008 dan 2010/2012. Meski demikian, hal tersebut dibantah oleh Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi, yang
menyimpulkan bahwa spekulan pangan tidak memiliki pengaruh terhadap pembentukan harga karena investor dalam future market tidak memegang
barang.
Spekulasi finansial berbeda dengan kartel. Kartel adalah struktur pasar yang terbentuk akibat perilaku oligopoli kolusif.
Oligolopi kolusif adalah model pasar oligopolistik di mana beberapa pelaku usaha memproduksi produk atau jasa yang sama atau mirip
dan melakukan monopoli di pasar. Perjanjian dibuat di antara perusahaan-perusahaan oligopoli yang menguasai bagian terbesar pasar.
Perjanjian dalam bentuk kerja sama dan aksi bersama tersebut kemudian memunculkan struktur pasar yang disebut sebagai kartel.
Perjanjian kartel meliputi harga produksi yang sama dan bersifat monopolistik, kuantitas produksi, dan pembagian teritorial pasar
(Severova dan Bendl, 2013). Kartel cederung untuk menaikkan harga atau membatasi kuantitas produksi untuk memaksimalkan keuntungan.
Dengan demikian, fenomena kartel pangan tampaknya sulit digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah gejolak harga pangan di Indonesia,
meskipun saat ini kartel yang terdiri atas 12 perusahaan sedang disidik intensif karena diduga melakukan pengaturan stok ayam (Kompas,
6/2).
Di komoditas beras, penggilingan padi merupakan rantai penting di dalam pembentukan harga beras. Jumlah
total penggilingan padi sebanyak 182.184 yang sebagian besar merupakan penggilingan padi skala kecil dengan kapasitas kurang dari
3 ton per jam. Penggilingan besar berjumlah 2.075 perusahaan (Bulog, 2016). Dengan jumlah perusahaan yang sedemikian banyak, kemungkinan
terbentuknya kartel di beras juga sulit terjadi.
Data produksi
Bila demikian apa yang menentukan harga pangan?
Nisbah stok/konsumsi tampaknya merupakan faktor pembentuk harga yang dominan di pasar tidak hanya untuk beras, tetapi juga komoditas
pangan lainnya. Nisbah stok/konsumsi terutama disusun oleh produksi pangan domestik dan impor.
Sangat disayangkan, bila pisau analisis tersebut digunakan untuk memahami pergerakan harga pangan di Indonesia, akan dihasilkan data
yang ambigu. Berdasarkan angka sementara yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) produksi gabah kering giling mencapai 75,36 juta
ton atau meningkat 6,37 persen. Setelah dikurangi dengan penggunaan gabah sebanyak 2 persen, dan kehilangan gabah sebanyak 5 persen,
akan dihasilkan produksi neto setara beras sebesar 44,045 juta ton. Ditambah dengan impor sebesar 0,862 juta ton dan stok awal tahun
sebesar 5,501 juta ton, maka total ketersediaan beras tahun 2015 sebanyak 50,408 juta ton. Dengan menggunakan angka ketersediaan beras
untuk konsumsi sebesar 124,89 kg/kapita/tahun (Kementerian Pertanian), penggunaan beras untuk keperluan lain sebanyak 0,9 persen dan
kehilangan beras sebanyak 2,5 persen, maka akan menghasilkan surplus 16,8 juta ton beras pada 2015 yang menjadi stok awal 2016.
Dengan
penambahan stok yang luar biasa besar tersebut, maka dengan menggunakan formula nisbah stok/konsumsi harga beras awal 2016 akan turun
sebesar 60 persen dibandingkan harga beras di awal 2015 atau hanya Rp 3.858 per kg beras medium.
Dengan menggunakan ”teori kartel”
sangat sulit dipahami di mana beras yang jumlahnya 16,8 juta ton tersebut berada. Apabila beras tersebut benar ada di tangan penggilingan
ataupun pedagang, mereka akan mengalami kerugian sangat besar karena stok tersebut tidak akan pernah bisa dilepas ke pasar karena
harga beras akan terjun bebas apalagi sebentar lagi panen raya. Di sisi lainnya, bila tren produksi masih berlanjut, maka dalam lima
tahun Indonesia akan surplus beras sebesar 52 juta ton, jumlah yang sama sekali tidak masuk akal.
selanjutnya....
KARTEL PANGAN....