Pengelolaan Sumber Ddaya Air....
 

Benar bahwa hak azasi rakyat atas akses air minum terbatas untuk kebutuhan hidup sehari-hari sehingga di atas tingkat kebutuhan tersebut terbuka peluang untuk pemanfaatan secara ekonomi. Namun menyatukan dua kepentingan tersebut dalam satu konsepsi kebijakan dan strategi  menciptakan bias dan distorsi  dalam praktek.  Meskipun terdapat ketentuan tarif progresif dan subsidi silang untuk  mengakomodasi kepentingan kebutuhan pokok minimal yang mencerminkan hak azasi, dalam praktek jangkauan pelayanaan dan pengembangan akses air minum lewat SPAM, khususnya dengan sistem jaringan perpipaan, akan mensyaratkan kemampuan dan potensi ekonomi tertentu dari kelompok masyarakat yang akan dilayani.  Hal ini membuat kelompok masyarakat miskin dan terpencil di kawasan langka sumber-sumber air akan terus terabaikan.

      Pengembangan SPAM Bukan Jaringan Perpipaan (BJP) sebenarnya lebih tepat menjawab kebutuhan air minum sebagai hak azasi karena program-program yang dilancarkan melalui strategi ini relatif bebas dari pertimbangan keuntungan ekonomi dan secara obyektif menyasar kelompok masyarakat dan kawasan yang paling membutuhkan akses air minum.  Lewat SPAM BJP seperti pembangunan hidran umum, terminal air, sumur dan mata air terlindungi, pemenuhan hak rakyat atas air minum dapat diarahkan langsung pada target akses air minum yang layak.  SPAM Jaringan Perpipaan tetap dapat digunakan tetapi dengan pendekatan dan sistem pengelolaan yang tidak berorientasi keuntungan (non profit).

BERANDA  SEPUTAR PERTANIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN      ARTIKEL    DATA DAN FAKTA    TENTANG SITUS INI 
Jika kembali pada tanggung jawab pemerintah yang terutama adalah pemenuhan hak azasi rakyat atas akses air minum yang layak, maka strategi semacam SPAM BJP seharusnya lebih didahulukan sebelum melancarkan strategi SPAM jaringan perpipaan untuk mengejar keuntungan ekonomi. Tantangan pemenuhan kebutuhan air saat ini masih cukup besar. Secara keseluruhan, prosentase jumlah rumah tangga yang memiliki akses air minum layak sampai 2016 baru mencapai 47,08 %, sementara sebanyak 21,62 % rumah tangga masih mengakses air minum dari sumber yang tak terlindungi dan 31,30 % memperoleh dari air kemasan bermerk/isi ulang (BPS, 2016). Jadi masih terdapat 52,92 % rumah tangga yang tidak memiliki akses air minum layak, baik dari perpipaan maupun non perpipaan. Fokus menuntaskan pemenuhan akses air minum layak bagi jumlah rumah tangga yang masih tersisa tersebut akan lebih utama bagi pemerintah dari pada mengejar keuntungan ekonomi dari bisnis pengusahaan air.
Jika dua kepentingan tersebut-pemenuhan hak azasi air dan pengusahaan air-tetap akan dilaksanakan, disarankan agar ditempuh pendekatan yang berbeda dan proporsi yang lebih besar pada pemenuhan hak azasi air.
 Sebelum terlanjur menjadi praktek yang sulit dihentikan dan sekaligus memperbaiki serta memperkuat landasan hukum peraturan-peraturan transisional seperti diuraikan sebelumnya, penerbitan UU SDA yang baru mendesak untuk segera dilakukan agar masa transisi pengelolaan SDA dapat segera diakhiri***.